Hantaran :
Sudah
lama saya tidak berbicara soal bahasa, karena seperti yang
diketahui...para pembacanya terbatas dan mungkin kesannya juga "berat",
tapi saya usahakan seperti dulu, tidak berat dan tidak banyak
menggunakan istilah-istilah akademis seperti yang dipakai para pelaku
pendidikan tingkat tinggi dan istilah yang 'sok Inggris' jika masih ada
padanan Indonesianya. Semoga bisa dipahami oleh para peminat bahasa yang
tidak pengen dibebani dengan istilah yang 'berat-berat'. Kali ini ada
hal yang selalu mengganjal dalam pemikiran saya, kenapa sih bisa muncul
pembatasan bahasa antara halus dan kasar dalam bahasa Jawa?
Bahasa Jawa yang menjadi bahasa ibu dari hampir separuh penduduk republik ini mempunyai dua dialek besar, yakni dialek sosial dan dialek daerah.
Yang ingin saya ulik-ulik adalah dialek sosial atau kemasyarakatannya.
Masyarakat Jawa pada dasarnya adalah masyarakat petani dimana terdapat
susunan hirarki yang menjadi pedoman bermasyarakat didalamnya. Sistem
semacam ini juga mengarah pada sistem kepemilikan tanah ataupun
feodalisme, dan berpengaruh pada bahasa juga. Karena harus menghormat
kepada orang-orang yang lebih tinggi baik dari usia, status di
masyarakat, maupun wibawanya.
Akibatnya, bahasa Jawa mengenal ragam yang disebut sebagai kromo, madya dan ngoko.
Pembagian semacam ini muncul pada masa awal Kerajaan Mataram pimpinan
Sultan Agung, dimana pada sebelumnya, bahasa JAwa tidak mengenal susunan
semacam itu, sebagaimana yang dipahami, bahasa Jawa Kuno tidak mengenal
bentuk-bentuk semacam ini. Dalam tingkat tutur ngoko, tidak ada perbedaan antara lawan bicara disamping digunakan kepada org2 yang ada di lapisan sama ataupun sebaya. Sedangkan kromo dicitrakan sebagai tingkatan sopan santun dalam berbicara, menunjukkan 'keanggunan' dalam berbicara serta dianggap njawani . Tingkatan
ini dipakai oleh para bawahan atau orang-orang dibawah maupun dalam
keadaan resmi. Serta untuk orang yang belum dikenal.
Menurut Poedjosoedarsono
dkk (1979), sebenarnya bahasa Ngoko adalah dasar dari semua kosakata
bahasa Jawa. Karena itulah, maka bahasa Kromo tidak dapat disamakan atau
disetarakan dengan ragam ngoko, karena terlalu banyaknya kata ngoko
yang tidak memiliki padanan kromonya. Jumlah kosakata Ngoko mencapai
ratusan ribu, sedangkan Kromo hanya berjumlah 850 kata, bahkan untuk Kromo Inggil hanya berjumlah 250 kata.
Nah, mengapa terjadi Ngoko-Kromo?
Menurut
Benedict Anderson (1990), hal tersebut disebabkan adanya krisis
politik-budaya yang terjadi di tanah Jawa sejak abad ke-16, dan makin
mendalam sejak penjajahan Belanda yang serempak memfosilkan penguasa
Jawa dan memfeodalkan hubungan mereka dengan rakyat bawah. Menurut
Anderson lagi, bentuk Kromo ini adalah bentuk kekuasaan Jawa yang secara
nyata (de facto), telah hilang. Raja-raja Jawa dijadikan sebagai boneka hidup yang dikendalikan Belanda.
Dari sinilah akhirnya
muncul hirarki dalam bahasa Jawa yang berakar dari feodalisme dan
dianggap sangat menguntungkan bagi penjajah pada waktu itu, karena dapat
memperlancar kepentingannya dengan bersembunyi dibalik raja-raja kecil
tadi. Dari sinilah mengapa bahasa Kromo sangat sedikit kosakatanya itu
disebabkan oleh pengendalian atas apa yang hendak
dikatakannya. Ditunjang dengan sistem kebangsawanan.
Mengapa Bentuk Kromo-Inggil tidak dikenal di Banyuwangi?Menurut
apa yang saya alami, jarang sekali masyarakat Using di Banyuwangi
menggunakan ragam kromo-ngoko sebagaimana masyarakat Jawa lainnya.
Sebagaimana mereka tidak begitu menyukai kesenian-kesenian dari Jawa
Tengahan. Saya waktu itu masih belum tahu apa namanya. Mereka hanya
berbahasa seperti 'kromo' pada hal-hal yang bersifat keagamaan atau
hal-hal kegaiban, bukan dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah saya membaca di
beberapa tulisan, saya baru mengetahui bahwa masyarakat Using Banyuwangi
hanya mengenal 2 ragam wicara, yakni : Cara Using dan Cara Besiki.
Cara Using ini dipakai setara antara tua-muda, kaya-miskin,
pintar-bodoh dan semua lapisan masyarakatnya. Tidak ada jarak antara
tua-muda dalam hal ini. Pembedanya hanya pada kata ganti atau pronomina
belaka seperti contoh :
Siro madyango sulung = anda makanlah dulu
Riko madyango sulung = kamu makanlah dulu
Bentuk siro dipakai
sebagai tanda hormat kepada yang lebih tua dan yang tidak dikenal.
Hanya itu saja pembatasnya, selebihnya tetap, meski kerap dianggap orang
Jawa tidak Njawani. Penyebab utamanya adalah, hilangnya sistem
kebangsawanan di Banyuwangi sejak abad ke-18, dan hubungan antara
penguasa kolonial dengan desa-desa sangat longgar tidak seperti di tanah
Jawa lainnya. Sehingga pada hakikatnya desa di Banyuwangi waktu itu
sifatnya mandiri, dan penguasa pusat hanya berperan sebagai "Lebah
Ratu", berbeda sekali, sehingga pola kekuasaan ala Jawa tidak dapat
meresap sempurna di ujung timur Jawa.
Sedangkan Cara Besiki
adalah ragam Jawa yang 'diterima' masyarakat Using Banyuwangi sebagai
bentuk ideal dalam berbahasa. Namun hanya bentuk ideal, bukan dalam
percakapan sehari-hari. Cara Besiki ini dipakai pada acara perkawinan,
kematian, lamaran (tegoran) dan acara-acara bersifat keagamaan. Dalam
artian mereka menganggap Cara Besiki ini sebagai bentuk sakral, bukan
hirarkis. Cara Besiki serupa dengan Kromo , namun penggunaannya
dikurangi sehingga bagi mereka bentuk halus ini hanya untuk "dunia
sana" bukan "dunia sini", terkait dengan hal tak kasat mata. Dan entah
kapan perubahan hubungan Cara Using-Cara Besiki ini terjadinya,
Di bahasa Sunda, Madura
dan Bali juga dikenal ragam halus-kasar ini sebagai akibat pengaruh dari
kekuasaan Majapahit dan Mataram. Sekian dulu tulisan saya yang rada
'berat' ini, semoga bermanfaat. Ada yang ditanyakan...monggo...
Sumber RujukanBahasa dan Sastra Using, Ragam dan Alternatif Kajian (2002)